Kebudayaan
Minangkabau
Budaya Minangkabau adalah kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat Minangkabau dan berkembang di seluruh kawasan
berikut daerah perantauan Minangkabau. Budaya ini merupakan salah satu dari dua
kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini
memiliki sifat egaliter, demokratis, dan sintetik, yang menjadi anti-tesis bagi
kebudayaan besar lainnya, yakni budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik.
Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di
dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan,
persukuan, warisan, dan sebagainya.
Sejarah
Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal
dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke
wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo.[2] Saat ini wilayah budaya
Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau(Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bagian barat Jambi(Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para
reformisIslam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan
budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang
dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya
Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha,
untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu
kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat
Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837.
Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama,
tokoh adat, dan cadiak
pandai (cerdik
pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat,
syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak
reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan
manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu,
setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan
keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di
surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik
berupa ilmu bela diri pencak silat.
Pendidikan
Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk
mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda
Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang
mengatakan bahwa "alam terkembang menjadi guru", merupakan suatu
adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada
masa kedatangan Islam, pemuda-pemuda Minangkabau selain dituntut untuk
mempelajari adat istiadat juga ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini
mendorong setiap kaum keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga
pendidikan para pemuda kampung.[5]
Setelah kedatangan imperium Belanda, masyarakat
Minangkabau mulai dikenalkan dengan sekolah-sekolah umum yang mengajarkan ilmu
sosial dan ilmu alam. Pada masa Hindia-Belanda, kaum Minangkabau merupakan
salah satu kelompok masyarakat yang paling bersemangat dalam mengikuti
pendidikan Barat. Oleh karenanya, di Sumatera Barat banyak didirikan sekolah-sekolah
baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak
terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak
diantara mereka yang pergi merantau. Selain ke negeri Belanda, Jawa juga merupakan tujuan mereka
untuk bersekolah. Sekolah kedokteran STOVIA di
Jakarta, merupakan salah satu tempat yang banyak melahirkan dokter-dokter
Minang. Data yang sangat konservatif menyebutkan, pada periode 1900 – 1914, ada
sekitar 18% lulusan STOVIA merupakan orang-orang Minang.
Kewirausahawan
Orang Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang
memiliki etos kewirausahaan yang tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya
perusahaan serta bisnis yang dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di seluruh
Indonesia. Selain itu banyak pula bisnis orang-orang Minang yang dijalankan
dari Malaysia dan Singapura. Wirausaha Minangkabau telah melakukan perdagangan
di Sumatera dan Selat Malaka, sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga abad ke-18,
para pedagang Minangkabau hanya terbatas berdagang emas dan rempah-rempah.
Meskipun ada pula yang menjual senjata ke Kerajaan Malaka, namun jumlahnya tidak terlalu
besar.[7] Pada awal abad ke-18, banyak
pengusaha-pengusaha Minangkabau yang sukses berdagang rempah-rempah. Di Selat
Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil, merupakan
pedagang-pedagang lintas selat yang kaya. Kini jaringan perantauan Minangkabau
dengan aneka jenis usahanya, merupakan salah satu bentuk kewirausahaan yang
sukses di Nusantara. Mereka merupakan salah satu kelompok pengusaha yang
memiliki jumlah aset cukup besar.[8]. Pada masa-masa selanjutnya
budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan pengusaha-pengusaha besar
diantaranya Hasyim Ning, Rukmini Zainal Abidin, Anwar Sutan Saidi, Abdul Latief, Fahmi Idris, dan Basrizal Koto. Pada masa Orde Baru
pengusaha-pengusaha dari Minangkabau mengalami situasi yang tidak menguntungkan
karena tiadanya keberpihakan penguasa Orde Baru kepada pengusaha pribumi.
Adat istiadat minang
Beberapa adat istiadat yang masih diterapkan sampai
sekarang, juga yang membedakan dengan adat yang lain adalah sebagai berikut:
1.
Pada adat perkawinan orang minang, mempelai
lelakilah yang dibeli oleh mempelai wanitanya.
2.
Pada saat makan bersama, jika telah selesai maka hendaklah menunggu yang lain
menyelesaikan makannya. Dikarenakan kesopanan pun diperlukan dalam keadaan
makan. Adat ini sekarang hanya beberapa yang menerapkannya.
3.
Orang minang lebih senang makan menggunakan tangan
disbanding menggunakan sendok dan garpu.
4.
Ada beberapa suku, yaitu : asal, koto, piliang,
budi, caniago, tanjuang, melayu, sikumbang, selayo, jambak dll. Tujuan dari
suku ini adalah untuk membedakan apakah orang tersebut masih sedarah dengan
kita atau tidak.
5.
Dilarang menikah dengan orang yang sukunya sama.
Itulah sedikit gambaran mengenai adat istiadat
minang kabau.
Sumber : wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar